Agama Sebagai By-Product Survival Value ? Rangkuman dari God Delusion.

Pertama-tama gw akan sajikan sebuah fenomena pada dunia hewan. Kamu mungkin belum mengenal moth. Moth adalah binatang semacam kupu-kupu, yang sering kita lihat terbang menuju lilin dan terbakar. Hal ini sepertinya bukanlah kecelakaan, karena ini sering kita lihat. Pertanyaan kita adalah mengapa mereka bunuh diri ? Sangatlah aneh, mengetahui bahwa seleksi alam adalah pencipta, berbeda dengan pencipta kita dari teistik, yang membenci pengorbanan diri, ia lebih suka memberkati spesies yang punya kemampuan untuk bertahan yang tinggi ;).



Penjelasannya adalah seperti ini. Cahaya buatan, seperti lilin, adalah hal yang ‘baru’ di bumi ini. ‘Baru’ tentunya dalam konteks umur bumi yang sudah miliaran tahun. Sumber cahaya yang ada sebelum adanya cahaya buatan pada malam hari adalah dari bulan, planet, atau bintang yang lain. Jarak sumber cahaya ini secara optik dapat dikatakan tak hingga, sehingga berkas cahaya datang secara paralel. Moth, sama halnya dengan serangga-serngga lain, menggunakan cahaya tersebut sebagai referensi dalam navigasi mereka. Mereka dapat terbang dengan lurus dengan bantuan cahaya. Sistem saraf mereka mengatur agar sudut datangnya cahaya selalu tetap sekian derajat. Ambil misalnya 30⁰.



Lintasan terbang moth bisa lurus hanya jika jarak sumber cahanya tak hingga. Jika tidak, dengan mempertahankan nilai sudut datang, lintasan terbang moth akan berbentuk spiral mendekati sumber cahaya seperti yang digambarkan dibawah. Perhatikan bahwa sudut pada lintasan di C dan D adalah sama.



Walaupun pada kasus ini menghasilkan kematian, secara umum aturan sistem saraf adalah baik, karena moth lebih banyak menggunakan bulan dibandingkan lilin. Kita tidak sadari diluar sana ratusan moth secara efektif menggunakan bulan sebagai alat navigasinya. Jelas bahwa moth tidaklah bermaksud untuk bunuh diri.

Sekarang kita bandingkan perilaku ‘bunuh diri’ ini dengan perilaku keagamaan. Orang-orang beragama benar-benar mencurahkan waktu, materi bahkan uang dalam aktifitas keagamaannya. Mereka bahkan rela mati (atau ‘rela’ membunuh) untuk agamanya. Bagaimana agama dapat bertahan walaupun sudah jelas bertentangan dengan ilmu pengetahuan ?

Pangkal dari hipotesis ini adalah anak-anak. Dibandingkan dengan spesies lainnya, kita manusia dapat bertahan melalui warisan berupa pengalaman-penglaman generasi diatas kita. Orang tua kita sering memperingatkan : jangan dekat-dekat dengan api atau sungai yang dalam. Jangan makan makanan yang sudah jatuh atau yang sudah basi. Jangan berlarian di tempat licin. Ikuti saja perinngatan ini jangan bertanya! Hal ini tentunya sangat berharga untuk anak-anak dalam rangka untuk bertahan hidup.

Seleksi alam membentuk otak anak-anak dengan tendensi untuk mempercayai apa saja yang orang tuanya katakan, termasuk masalah agama. Kepercayaan ini sangat bernilai, sama seperti moth dengan cahaya bulan, untuk dapat bertahan hidup. Tetapi hal yang fatal dari kepercayaan tanpa bertanya adalah sifat kemudahan untuk ditipu.
Pemimpin-pemimpin agama menyadari kondisi ini. Sebuah pernyataan dari kalangan Jesuit “Berikan aku anak pada 7 tahun pertamanya, akan aku berikan hasilnya..”. Juga jangan lupakan ayat Amsal, “Didiklah orang pada masa mudanya bla bla bla…” seperti yang dikuptip oleh pendeta-pendeta.

Bagaimanapun hoptesis ini hanya satu dari banyak hipotesis yang lain. Kalian boleh baca “Why God Persist” oleh Robert Hindie, “Religion Explained”oleh Pascal Boyer atau “In God We Trust” oleh Scott Atran.